DARI INIGO KE IGNASIUS | Kisah Pertobatan St. Ignasius Loyola

Dari Inigo ke Ignasius” hendak memperlihatkan bagaimana peziarahan batin Ignasius ketika dibimbing Allah sendiri dalam hidupnya. Inigo mewakili seluruh pengalaman Ignasius sebelum pertobatannya. Sedangkan Ignasius, nama yang dipakainya sejak di Paris, memperlihatkan hidup baru Inigo yang telah mengalami pertobatan dan pembalikan orientasi hidup kepada Allah. Selama peziarahan batin “dari Inigo ke Ignasius” itulah, tampak bagaimana Allah bertindak langsung membimbing dirinya dan bagaimana dia sendiri menanggapi bimbingan Allah itu. Bagaimana cara Allah membimbing Inigo secara personal? Dan bagaimana cara Inigo sendiri menanggapi bimbingan Allah itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan dipaparkan secara gamblang di bawah ini. 
 
A. Pendosa yang Dicintai Allah
Inigo  lahir tahun 1491 dari keluarga Loyola di Puri Loyola, terletak di daerah Basque, Spanyol Utara . Tak ada masa depan cerah bagi anak kesebelas seorang bangsawan yang jatuh melarat ini. Jalan ke masa depan yang bisa ia harapkan adalah menjadi imam atau biarawan, wiraswasta atau tentara. Pada waktu itu, tidak jarang orang tua terpaksa menyerahkan anaknya untuk menjadi biarawan atau imam supaya bisa hidup nyaman. Inigo juga diserahkan ke biara. Di sana ia belajar membaca dan menulis. Ia bertahan sampai menerima tahbisan kecil (tonsura). Agaknya ia tidak krasan. Semangat yang menggebu-gebu membawa dia pada umur 15 tahun ke puri bendahara Raja Ferdinand dari Spanyol . Inilah hidup yang ia idam-idamkan: turnamen naik kuda dengan rompi baja dan tombak, berburu dan perselisihan yang diselesaikan dengan duel, menikmati nyanyian dan macam-macam pertunjukan dibumbui dengan judi dan affair asmara sembunyi-sembunyian. Kesepuluh Perintah Allah diucapkan di Gereja sekalipun kenyataan sehari-hari dijalani lain sama sekali. Ibadat dijalani pada waktu musibah atau waktu merayakan kemenangan. Inigo tak pernah berdoa kepada Bunda Maria begitu khusyuk selain kalau akan menghadapi duel. Di Arevalo, bibinya, Maria Velasco, memperingatkannya, “Inigo, kamu tidak pernah akan belajar hingga menjadi bijaksana sebelum seseorang mematahkan kakimu” . 
 
“Sungguhpun ia beriman, ia tidak hidup sesuai dengan imannya dan sama sekali tidak menjauhi dosa. Malahan, ia tak bisa lepas dari judi, pergaulan bebas dengan wanita, sombong, suka berselisih dan mudah mencabut pedang untuk masalah-masalah yang sepele”.
 
Hidup liar tanpa tujuan, tidak memuaskan Inigo. Tahun 1521, ia menggabungkan diri dengan pasukan pangeran Najera yang menduduki Pamplona, suatu kota kecil di perbatasan antara Perancis dan Spanyol. Warga Pamplona tidak bisa berbuat banyak menghadapi kelakuan para prajurit yang kebanyakan adalah berandalan. Oleh karenanya, waktu pasukan Perancis datang, mereka menyambut dengan rasa gembira. Dengan senang hati walikota akan menyerahkan kota kepada pasukan Perancis dan komandan garnisun sudah melarikan diri lebih dulu dari Pamplona. Inigo berang dan membujuk teman-temannya untuk bertahan, paling tidak ia bertekad untuk mempertahankan benteng pusat kota.
 
Hingga pada suatu hari, Perancis mendesak Spanyol. Kedua tentara tiba di Pamplona dan saling berhadapan dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Spanyol dengan seribu pasukan sedangkan Perancis dengan dua belas ribu pasukan. Tidak ada lagi harapan bagi orang-orang Spanyol untuk menyelamatkan diri. Sebagai tentara yang berpengalaman, komandan dari pasukan Spanyol dan para perwiranya ingin menyerahkan diri. Akan tetapi, Inigo yang berapi-api tidak pernah mau untuk mengundurkan diri dari peperangan. Keberaniannya menular. Dia melawan kematian dan memenuhi para pembela yang lain dengan api yang sama yang dimilikinya . 
 
Perang di Pamplona berjalan sekitar enam jam dan pihak Perancis memenangkan peperangan itu.  Sebuah tembakan meriam canon menghancurkan satu kaki Inigo dan secara serius melukai yang lain. Pada saat yang sama, Inigo lebih memilih mati ketimbang hidup dengan kaki pincang. Akan tetapi, kematian di Pamplona bukanlah takdir yang mesti dialaminya. Sekalipun demikian, orang Perancis memperlakukan Inigo yang terluka dengan baik . Inigo dibawa ke Loyola dengan gerobak dan setibanya di puri Loyola, ia diobati oleh dokter .
 
“Keadaannya semakin buruk; ia tidak dapat makan, dan ada gejala-gejala yang biasanya merupakan tanda-tanda orang akan mati. Menjelang hari raya St. Yohanes, para dokter tidak punya banyak harapan lagi bahwa ia dapat selamat. Mereka menganjurkan supaya Inigo menerima sakramen tobat. Setelah menerima sakramen orang sakit, pada vigili St. Petrus dan Paulus, para dokter berkata bahwa kalau sampai tengah malam belum ada kemajuan, ia pasti akan mati. Si penderita selalu punya devosi besar kepada St. Petrus, maka Tuhan menghendaki malam itu juga ia mulai merasa lebih baik, kesembuhannya begitu cepat, bahwa beberapa hari kemudian ia dianggap sudah di luar bahaya maut”.
 
Waktu keadaannya membaik, Inigo melihat bahwa ada daging dan tulang menonjol di kakinya. Ia tidak mau seperti itu. Jangan-jangan ia tidak bisa memakai sepatu dan berjalan tegak sebagaimana seharusnya seorang ksatria. Inigo meminta dokter mengoperasi kembali tulangnya yang salah pasang. Ia tetap ingin tampil sebagai seorang ksatria yang gagah pada zamannya. Ia dioperasi tanpa obat bius. “Inigo mengingat peristiwa itu sebagai sebuah pembantaian yang mengerikan. Bukan untuk Allah melainkan hanya demi gengsi dan kesombongan diri sendiri” . Berkat Allah yang mencintainya, dari hari ke hari, kesehatan Inigo berangsur-angsur membaik. 
B. Penegasan yang Membawa Pertobatan
Selama ia berbaring menunggu kesembuhan, untuk mengatasi kesepian, ia minta diberikan buku-buku cerita kepahlawanan para ksatria, bacaan yang sangat ia sukai. Ia suka melamun dan memfantasikan kehebatan mereka. Secara khusus, ia suka membayang-bayangkan kepahlawanan para ksatria, ingin menjadi bangsawan, pendekar melawan kejahatan, dan pembela rakyat bawahannya. Ternyata, di rumah itu tidak terdapat buku-buku kepahlawanan yang diharapkannya. Hanya ada dua buku dan itu saja berkisah tentang hidup Kristus dan hidup para kudus . Dua buku yang jauh dari apa yang diinginkannya. Dari pada lelah bosan menganggur, dengan perasaan segan ia membaca kedua buku tersebut. Perlahan-lahan ia mulai melamunkan hidup para kudus seperti dikisahkan. Ia terkesan akan julukan para kudus sebagai “Para Prajurit Allah yang membaktikan diri demi pelayanan kepada Yesus Kristus Raja Abadi.” Mereka adalah orang-orang yang karena inspirasi Injil gagah berani melawan kejahatan yang lebih canggih daripada meriam. Ia membayangkan dirinya sebagai St. Dominikus yang mengkotbahkan Injil atau St. Fransiskus yang mengemis. Ia membayangkan seperti berjalan bersama dengan Yesus menjelajah di berbagai daerah. Lamunannya demikian meresapi pikirannya. Setelah beberapa saat (dua, tiga bahkan empat jam) lamunan kepahlawanan ganti menguasai pikirannya: menjadi pahlawan dan terkenal, berperang dan bermain pedang serta kemaun terluka demi pengabdian kepada sang raja. Tidak lama kemudian, datang kembali lamunan mengikuti Kristus Raja Abadi sampai ke Yerusalem, bertapa seperti St. Fransiskus dan membebat luka orang miskin di rumah sakit. Demikian kedua macam lamunan itu silih berganti menguasai pikirannya . 
 
Pada suatu hari ia heran sekali karena menyadari bahwa lamunan kepahlawanan berakhir dengan rasa kosong, kering disertai dengan kekecewaan. Lamunan mengikuti Kristus membawa kegembiraan yang mendalam, kesegaran dan kepuasan yang tidak hilang-hilang. Selama ia mengamati lamunan yang silih berganti, ia mulai berpikir mungkinkah damai, kesegaran dan kegembiraan yang tak hilang-hilang merupakan tanda kebenaran dan tanda Allah memanggilnya? Dari refleksi mengenai lamunan ini ia sampai pada pengertian bagaimana cara Allah membimbing dan memberitahukan kehendakNya. Ini adalah penegasan pertama yang dilakukan Inigo. Sejak saat itu, Inigo makin memperhatikan dorongan-dorongan dalam batin dan keinginan-keinginan yang timbul di dalam hatinya. 
 
Berdasarkan pengalaman, ia mulai menyadari bahwa dari pikiran yang satu ia menjadi murung, dan dari yang lain gembira. Sedikit demi sedikit ia mulai menyadari perbedaan roh-roh yang menggerakkannya: satu dari setan, yang lain dari Allah” .
 
Seakan-akan roh-roh itu mengusiknya dan saling berebut kuasa. Roh yang satu menggerakkan hatinya untuk melamunkan kepahlawanan dunia dan roh yang lain kepahlawanan rohani. Sedikit demi sedikit ia dapat membedakan mana roh baik yang menggerakkan ke arah yang baik, dan roh jahat yang menggerakkannya ke arah yang jahat. Dalam pergumulan menentukan pilihan antara kepahlawanan duniawi dan kepahlawanan rohani, akhirnya ia sadar akan tarikan tangan Allah. 
 
“Pada suatu malam, ia tidak tidur. Lalu ia melihat dengan jelas gambaran Santa Perawan dengan Kanak-kanak Yesus. Dari penglihatan itu, ia mengalami penghiburan amat mendalam dalam waktu yang cukup lama. Ia merasa sangat muak terhadap hidupnya yang lampau, khususnya mengenai kehidupan seksnya. Tampaknya semua bayangan yang dahulu tergambar di dalamnya diambil dari hatinya” .
 
Ia menjadi semakin yakin bahwa ia dipanggil untuk berperang tidak melawan musuh sementara, tetapi melawan musuh abadi: kebodohan, ketidakadilan, keserakahan, egoisme, dan segala macam kejahatan yang ada dalam dirinya maupun yang mengancam umat manusia. Ia menemukan panggilannya dan mau mengabdikan diri kepada Raja Abadi di Yerusalem dengan hati berapi-api. 
 
“Ia mulai berpikir lebih serius mengenai hidupnya yang lampau dan merasa sangat perlu membuat laku tapa untuk itu. Ia hanya berjanji bahwa dengan pertolongan rahmat Allah, ia akan melakukan apa yang dilakukan para santo. Yang paling ingin dilakukannya, segera bila sembuh, ialah pergi ke Yerusalem, dengan segala macam penitensi dan puasa” . “Sementara itu kakaknya dan semua orang lain di rumah dari luar mengerti bahwa terjadi suatu perubahan dalam hatinya” . 
 
C. Hidup Bergantung pada Allah 
Inigo berangkat ke arah Barselona, ke suatu pelabuhan dari mana ia bisa pergi ke Yerusalem. Di tengah jalan, di suatu biara yang terletak di bukit Montserrat, ia mempersiapkan diri selama tiga hari untuk mengaku dosa. Kudanya diserahkan kepada biara, pakaiannya ditukar dengan pakaian seorang pengemis dan pedang ia letakkan di bawah patung Bunda Maria di kapel. Selama semalam suntuk ia samadi di kapel untuk mempersiapkan hidupnya yang baru bagi pelayanan kepada Raja Abadi .
Dalam perjalanan, ia tinggal beberapa lama di sebuah kota kecil bernama Manresa. Sampai di kota itu, ia mulai melakukan laku tapa, doa yang sangat intensif dan melawan dirinya. Jika sebelumnya dia sangat memperhatikan penampilan, sekarang ia berjalan di  desa-desa berpakaian pengemis dengan kuku dan rambut yang tak terpelihara. Sehari-harian ia membantu orang sakit, berdoa tujuh jam sehari, berpuasa dan mengikuti misa. 
 
“Pada waktu itu, Allah memperlakukannya seperti seorang guru sekolah terhadap seorang anak. Ia memberi pelajaran kepadanya. Entah karena dia begitu kasar dan bodoh, entah karena tidak ada orang yang mengajarnya, atau karena kemauan kuat yang diberikan Allah sendiri kepadanya untuk mengabdi kepadaNya, ia sungguh yakin dan selalu punya keyakinan bahwa Allah memperlakukannya dengan cara demikian” .
 
Nampaknya, Sang Guru membiarkan Inigo membuat banyak kesalahan, baru kemudian memberikan koreksi. Ia bertapa tanpa belas kasihan kepada badannya. Ia menyesah diri dengan cambuk dan tidur sedikit di tempat keras tanpa alas. Mula-mula semuanya itu memberikan kegembiraan. Ia berpikir begitulah cara mendisplinkan badannya yang dulu pernah menjadi alat dosa. Tak lama kemudian, ia mengalami banyak godaan. Timbul dalam pikiran ingin menyombongkan diri dan doa baginya menjadi sangat membosankan. Ada rasa takut kalau-kalau ada dosa yang terlewat dan belum diakukan atau ada dosa yang telah ia akukan tapi belum diampuni. Keadaan begitu kalut, menakutkan sampai membuatnya putus asa dan mau bunuh diri. Hal ini terjadi sampai-sampai “Ia berkata pada dirinya bahwa tidak akan makan atau minum sebelum Allah memberikan apa yang ingin diperolehnya, atau kalau ia melihat bahwa maut sudah amat dekat” . 
 
Suatu hari, seolah-olah Allah membangkitkannya dari mimpi buruknya. Semua godaan hilang begitu saja. Pikiran menjadi sangat jernih. Ia mulai merefleksikan bagaimana mulai timbul keadaan kalut dan pikiran-pikiran jahat dalam benaknya. Ia sadar bahwa ternyata cara hidup keras seperti itu bukanlah kehendak Allah. Hidup matiraga tanpa ampun hanyalah buah pikirannya sendiri. Dengan laku tapa seperti itu seolah-olah ia ingin memaksa Allah berkenan dan mencintainya. Satu hal yang tak mungkin terjadi. Ia sadar ia mesti menyerahkan diri kepadaNya. Ia harus melakukan apa yang dikehendakiNya dan bukan apa yang ia kehendaki. Pengalaman itu mengajarnya untuk tidak lagi hanya mengikuti ide dan kehendaknya sendiri juga ketika ia menerima hiburan rohani yang besar pada saat akan tidur. Ia menimbang-nimbang apakah penerangan dan hiburan rohani itu datang dari roh baik atau dari roh jahat. Dari pengalamannya, dia mengambil kesimpulan bahwa hal itu datang dari roh jahat dan lebih baik ia menggunakan waktu tidur untuk istirahat. Dengan pengalaman-pengalaman yang direfleksikan, ia semakin menyadari bagaimana Allah bertindak dalam hidupnya dan bagaimana ia mesti menanggapiNya. 
 
Ketekunan dan kesungguhan Inigo menanggapi sapaan Allah membuahkan rahmat yang melimpah-limpah. Pada suatu waktu ia sedang santai duduk di pinggir sungai Cardoner, sebuah sungai dekat biara di Manresa yang setiap hari ia kunjungi. Ia mendapat penerangan luar biasa dari Allah. Ia tidak memperoleh penampakan, tetapi budinya diterangi sehingga memahami secara mendalam kebenaran iman, masalah-masalah rohani dan hubungan iman dan pengetahuan. Antara lain ia mendapatkan penerangan bagaimana Allah menciptakan alam semesta dan bagaimana Ia hadir dalam ciptaanNya. “Semua itu dengan kejelasan yang begitu besar sehingga segala-galanya kelihatan baru” . Sejak pengalaman penciptaan diberikan, Inigo berusaha tampil normal dengan memelihara kuku, rambut, dan seluruh dirinya. Ia juga meninggalkan praktik puasa dan pantang yang berlebihan. Ia jauh lebih bijaksana dan maju dalam kerohanian. Sejak saat itu, segala hal baginya menampakkan kehadiran Allah. Ia tinggal di Manresa selama hampir satu tahun dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Barselona, sebuah kota pelabuhan di Spanyol.
 
Inigo berangkat dari Barselona menuju Yerusalem menumpang kapal dagang. Mula-mula ia berkeinginan menetap di Yerusalem. Ia ingin melayani Kristus dengan melayani para peziarah yang tinggal di sana. Sayang bahwa setelah dengan susah payah sampai di Yerusalem, ia diperintahkan pulang oleh pimpinan biara yang mendapat kuasa Santo Bapa untuk mengusirnya. 
 
“Setelah si peziarah mengetahui bahwa Allah tidak menghendaki ia tinggal di Yerusalem, ia terus berefleksi dan berpikir apa yang akan dilakukannya (quid agendum). Akhirnya, ia lebih cenderung untuk belajar beberapa waktu supaya dapat membantu orang. Ia mengambil keputusan untuk pergi kembali ke Barselona” . 
D. Studi sebagai Kerasulan
“Ketika sampai di Barselona, ia membicarakan keinginannya untuk belajar dengan Isabella Ros(c)er dan dengan magister Ardevol yang mengajar bahasa Latin dasar. Kedua-duanya merasa bahwa itu baik sekali” . Nampaknya, Inigo sangat prihatin dengan penghayatan iman dan pengetahuan agama kebanyakan orang pada waktu itu. Oleh karenanya, ia bertekad  akan melayani Yesus Raja Semesta dengan memberi Latihan Rohani kepada banyak orang supaya mereka beriman lebih teguh dan mempunyai pengetahuan agama yang memadai. Ia berkesimpulan bahwa ia harus belajar agar dapat mewujudkan niatnya untuk menolong jiwa-jiwa. Barselona menjadi tempat awal Inigo belajar. 
 
“Ia belajar dua tahun di Barselona. Menurut kata orang dalam waktu itu ia mengalami banyak kemajuan. Maka gurunya berkata kepadanya bahwa ia siap untuk studi artes (filsafat), sebaiknya ia pergi ke Alkala. Ia minta seorang doktor teologi untuk mengujinya. Orang itu pun berkata hal yang sama. Maka ia pergi ke Alkala sendirian, walaupun kiranya sudah mempunyai beberapa teman” . 
 
Inigo studi di Alkala kurang lebih satu setengah tahun. Di sana ia mencoba memberi Latihan Rohani dan menerangkan ajaran kristiani. Pekerjaan itu berhasil demi kemuliaan Allah. Banyak orang memperoleh pengertian dan rasa mendalam tentang hal-hal rohani. Celakanya, setiap kali ia berbicara mengenai kerohanian, ia selalu mendapat tentangan Inkuisisi  Gereja. Mereka berkeberatan mengapa seorang yang tidak berpendidikan teologi dan bukan imam mengajar agama. Beberapa kali ia menghadapi penguasa Gereja dan beberapa kali ia harus masuk penjara karena dianggap sebagai pengikut alumbrados. Hal pertama yang biasanya menjadi alasan dia diinterogasi dan dipenjara adalah bahwa,
 
“Ia tidak boleh berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut iman; harus belajar empat tahun dahulu karena belum punya pengetahuan. Padahal sesungguhnya si peziarah banyak tahu, tetapi dengan tidak banyak dasar“ . 
 
“Ia merasa bahwa dengan demikian tertutuplah pintu untuk membantu orang lain. Padahal tidak diberikan alasan lain kecuali bahwa ia belum selesai studinya“ .
 
Inigo berpindah ke kota lain, Salamanka. Akan tetapi, nasibnya sama saja. Ia mulai meletakkan nasibnya di hadapan Allah dan berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia menemukan kesulitan besar untuk tinggal di Salamanka. Ia mendapat kesan bahwa telah ditutup pintu untuk membantu orang dengan larangan bahwa tidak boleh menentukan dosa besar dan kecil“ . Ia mengambil keputusan untuk pergi belajar di Paris . 
 
“Karena di Spanyol ia diharuskan belajar dengan begitu terburu-buru, sehingga dasarnya amat kurang, di Paris, ia diharuskan belajar bersama anak kecil dengan mengikuti kurikulum dan metode Paris” .
 
Selama belajar di Universitas Paris, Ignasius mengumpulkan beberapa teman yang secita-cita ingin mengabdikan diri kepada Raja Semesta. Pada waktu ia sudah selesai kursus artes (filsafat) dan sudah beberapa tahun belajar teologi dan sudah mendapat teman, mereka mengambil keputusan mengenai apa yang harus dilakukan, yaitu pergi ke Venesia dan Yerusalem dan memberikan hidup mereka demi kepentingan orang lain. 
 
“Kalau tidak diberi izin untuk tinggal di Yerusalem, mereka akan kembali ke Roma dan menghadap Wakil Kristus supaya beliau menempatkan mereka di mana beliau berpendapat bahwa akan lebih besar kemuliaan Allah dan kegunaan bagi orang lain“ .
 
E. Diutus ke Seluruh Penjuru Dunia
Setelah semua anggota kelompok lulus teologi, mereka pergi ke Venesia. Venesia merupakan pelabuhan besar dan dari situ kapal-kapal dagang berangkat ke Tanah Suci. Pada waktu itu, tidak ada kapal dagang berani berlayar ke daerah Timur karena Venesia sedang berperang melawan Turki. Selama menunggu, pada tanggal 24 Juni 1537, Ignasius bersama dengan anggota kelompok yang belum imam ditahbiskan menjadi imam. Satu tahun mereka melakukan kerasulan sambil menunggu kesempatan. Setelah satu tahun tidak ada kapal berangkat, mereka memutuskan akan menyerahkan diri kepada paus untuk diutus ke mana saja dan untuk tugas apa saja. Berangkatlah mereka ke Roma. 
 
Ignasius sudah mengambil keputusan bahwa satu tahun sesudah menjadi imam, ia tidak akan mempersembahkan misa sambil mempersiapkan diri dan mohon kepada Santa Perawan sudilah kiranya menempatkan dia di samping Putranya. 
 
“Ketika mereka pada suatu hari masih beberapa mil dari Roma, di sebuah gereja, waktu ia sedang berdoa, ia mengalami begitu banyak gerakan dalam hatinya dan melihat dengan begitu jelas bahwa Bapa menempatkan dia bersama dengan Kristus, PutraNya. Ia sungguh tidak berani meragukan bahwa Allah Bapa menempatkan dia bersama dengan PutraNya“ . 
 
Penampakan La Storta ini merupakan puncak peneguhan pelayanan Ignasius. Dalam laporannya yang dibenarkan Ignasius, Pater Lainez berkata bahwa, 
 
“Kristus memanggul salib, menampakkan diri kepada Ignasius; Bapa kekal yang dekat berkata kepada Putra: ’Aku mau Engkau menerima orang ini menjadi pelayanMu.’ Maka Yesus sungguh menerima dia dengan berkata: ’Aku mau engkau melayani kami’“ . 
 
Di Roma, Ignasius beserta teman-temannya pada bulan November 1538 menyerahkan diri kepada Paus Paulus III untuk diutus ke mana saja dan untuk karya apa saja yang dipandang perlu dan mendesak oleh paus. Tiga bulan kemudian mereka dipanggil ke Vatikan dan diminta berkarya ke Sienna, Parma, dan India. Berhubung tugasnya yang baru akan menceraiberaikan mereka, mereka menegaskan apakah mereka akan berpisah begitu saja atau akan membentuk suatu serikat sehingga kekayaan kerohanian dan karya kerasulan mereka bisa diserahkan kepada generasi berikutnya. Dari penegasan itu, mereka yakin bahwa kehendak Allahlah untuk membentuk serikat yang akan dinamai Serikat Yesus. Tahun 1540, Serikat Yesus diresmikan oleh  Paus Yulius III dengan surat keputusan resmi “Regimini Militantis Ecclesiae“ dan Ignasius diangkat sebagai jenderal pertama. Ignasius meninggal pada tanggal 31 Juli 1556 di Roma dan dinyatakan sebagai santo oleh Paus Gregorius XV pada tanggal 21 Maret 1622. 
 
F. Tuntunan Jurnaling:
1. Pengalaman Ignasius manakah yang menarik bagiku? Mengapa?
2. Jika aku mensejajarkan pengalamanku dengan pengalaman Ignasius,
  • manakah pengalaman pertobatanku yang kurang lebih sama dengan Ignasius?
  • manakah pengalaman kasih Allah/”keselamatanku” yang kurang lebih sama dengan Ignasius?

 

 

“God has not called us to be successful. 
He has called us to be faithful.”
 
Bagikan :